Minggu, 05 Januari 2020

Ibu Kota Indonesia Pindah ke Kaltim




Secara konstitusional, Jakarta ditetapkan sebagai ibu kota Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964. Jakarta telah menjadi pusat pemerintahan sejak masih bernama Batavia pada masa Hindia Belanda. Pada awal abad ke-20 ada upaya oleh Pemerintahan Hindia Belanda untuk mengubah lokasi ibu kota dari Batavia ke Bandung, walaupun gagal karena Depresi Besar dan Perang Dunia II. Setelah menjadi wacana selama puluhan tahun, Presiden Joko Widodo mengumumkan pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur pada tahun 2019.
Sebenarnya wacana pindah ibu kota bukanlah hal baru. Wacana memindahkan ibu kota tercetus saat Presiden pertama Indonesia, Sukarno berada di Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada 17 Juli 1957. Saat itu Sukarno mengunjungi kota itu bersama Duta Besar Amerika Serikat Hugh Cumming Jr, Dubes Uni Soviet D. A. Zhukov, serta Sri Sunan Pakubuwono XVII. Presiden berada di Palangkaraya untuk menancapkan tiang pancang bakal kota itu.
Saat dicanangkan pada tahun 1957, desain kota masih sangat sederhana. Namun, wacana ini tak kunjung terealisasi hingga akhir masa pemerintahan Bung Karno. Penyelenggaraan Asian Games di Indonesia pada 1962 disebut menjadi pengalihan rencana ini.
Akhirnya, pada 29 April 2019, Jokowi dalam rapat terbatasnya memutuskan untuk memindahkan ibu kota ke luar Pulau Jawa. Rencana ini bukan lagi sekadar wacana karena kajian dari berbagai aspek yang sudah dipertimbangkan dalam 1,5 tahun terakhir menyimpulkan bahwa Indonesia sangat dimungkinkan memindahkan ibu kotanya.
Mantan Wali Kota Solo itu menyatakan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) juga sudah menindaklanjuti pilihan provinsi yang dinilai berpotensi, seperti di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.
"Nanti setelah dipaparkan secara detail akan segera diputuskan," ujarnya.
Lebih lanjut Jokowi meminta agar kajian yang berkaitan dengan kebencanaan, daya dukung lingkungan, ekonomi, demografi, sosial-politik, dan pertahanan-keamanan diselesaikan dan dirinci kembali. Ia ingin keputusan nanti adalah keputusan yang benar sebagai kepala negara dalam visinya memimpin pemerintahan ke depan.
"Saya memutuskan nantinya bukan sebagai kepala pemerintahan tetapi sebagai kepala negara," katanya.
Mantan gubernur DKI Jakarta itu meminta jajarannya untuk mempelajari pengalaman pemindahan ibu kota negara lain, terutama terkait faktor-faktor yang bisa menjadi hambatan, sehingga bisa mengantisipasi sedini mungkin.
"Sebaliknya faktor kunci keberhasilan yang bisa kita adopsi dan adaptasi kita ambil," tuturnya.
Selain itu, Jokowi meminta jajarannya untuk menyiapkan skema pembiayaan pemindahan ibu kota, baik yang bersumber dari APBN atau di luar APBN. Ia juga memerintahkan agar ada desain kelembagaan yang diberikan otoritas dalam rencana pemindahan ibu kota negara ini.
"Dan terpenting payung hukum mengenai pemindahan ibu kota," ujarnya.

Bandara Husein Sastranegara seperti “makam".


Pengalihan 13 rute penerbangan domestik dari dan menuju Bandara Husein Sastranegara ke Bandara Interasional Jawa Barat (BIJB) di Kertajati, Kabupaten Majalengka, dinilai membuat angka kunjungan wisatawan ke Bandung semakin menurun.

Berdasarkan data yang ada, terdapat penurunan kunjungan wisatawan mancanegara maupun domestik ke Kota Bandung melalui Bandara Husein Sastranegara mencapai 150 ribu orang. Pengaruh bandara tersebut dinilai berkontribusi signifikan terhadap turunnya jumlah wisatawan terutama wisatawan nusatara (wisnus) ke Bandung.

Selain itu, berkuranganya angka kunjungan wisatawan ke Bandung yang sekaligus juga mengurangi tingkat okupansi hotel di kota tersebut adalah kemacetan dalam kota yang semakin parah. Meskipun penambahan infrastruktur menuju Bandung telah ditambah, namun minimnya pembenahan jalan dalam kota dianggap mengurangi kenyamanan wisatawan untuk berlibur di Bandung.

Untuk itu, Wali Kota Bandung Oded M. Danial menginginkan pemerintah pusat bisa meninjau kembali kebijakan operasional Bandara Husein Sastranegara Kota Bandung.

"Tahun lalu, sekira 7,5 juta wisatawan masuk ke Kota Bandung, sejak penerbangan dipindahkan ke Kertajati, sekarang (wisatawan) menurun," ujar Oded M. Danial di Pendopo Kota Bandung, Minggu 8 Desember 2019 lalu.

Oded M. Danial mengatakan, kini Bandara Husein Sastranegara seperti “makam". Bandara yang terletak di Jalan Padjajaran Kota Bandung tersebut kini nampak sepi dan tidak seramai dulu.

"Beberapa waktu lalu, saya turun di Husein Sastranegara, sangat sepi. Serasa di makam," ujarnya seperti dilaporkan Prfmnews.

Ia sempat berbicara dengan Angkasa Pura sebagai pengelola Bandara Husein Sastranegara. Pengelola juga berharap, Bandara Husein Sastranegara tetap bisa beroperasi seperti dahulu. Selain pengelola bandara, Husein Sastranegara juga telah beroleh masukan dari pemangku pelaku industri pariwisata. Salah satunya, Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI. Para pengusaha juga sangat merasakan dampak pengalihan penerbangan ke BIJB Kertajati.

Oded menegaskan, Pemkot Bandung sebenarnya terus berusaha meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Berbagai program dan kegiatan telah dirancang agar menjadi daya tarik baru bagi wisatawan.
Kendati demikian, Oded menerangkan, kunjungan wisatawan tergantung berbagai aspek. Salah satunya aksesiblitas.

"Kalau akses ke Bandung terbuka, maka jumlah kunjungan wisatawan pun akan tinggi," ujarnya.
Selain meminta agar ada peninjauan ulang tentang pengalihan sejumlah penerbangan, Oded juga sangat berharap, pemerintah pusat segera menyelesaikan pembangunan tol Cisumdawu (Cileunyi–Sumedang–Dawuan). Sehingga akses dari BIJB Kertajati ke Kota Bandung dan sebaliknya bisa lebih mudah.